PERJALANAN FILSAFAT ILMU
Oleh
: Parjo
PPs
Pendidikan Matematika P2TK 2013/ 13709259001
A.
Pendahuluan
Sejarah filsafat (Susanto:2011;30) adalah
uraian dari suatu peristiwa yang berkaitan dengan hasil pemikiran filsafat. Sejarah
lahirnya dan perkembangan filsafat sama tuanya dengan sejarah kelahiran dan
perkembangan ilmu pengetahuan yang muncul pada masa peradaban kuno. Asal muasal
lahirnya filsafat adalah dalam upaya mencari kebenaran, menyelidiki hakikat
yang sebenarnya mengenai segala sesuatu secara sungguh-sungguh.
Adapun tujuan mempelajari filsafat ini (Susanto:2011;31)
untuk mengetahui pemikiran filsafat para ahli pikir atau filosof tentang
berbagai ragam pemikiran dari dahulu hingga sekarang. Di dalam sejarah filsafat
akan diketahui pemikiran-pemikiran yang cemerlang hingga hasil pemkiran
tersebut dapat mengubah dunia melalui gagasan dan ide-ide yang monumental.
Adapun upaya yang dilakukan adalah untuk mencapai kebenaran dalam segala bidang
yaitu meliputi pikiran atau budi manusia, tingkah laku, nilai tingkah laku dan
tujuan hidup baik kehidupan dunia maupun kehidupan sesudah dunia ini.
B.
Zaman
Perkembangan Filsafat
Sejarah
perkembangan filsafat dapat dibagi ke dalam 4 zaman yaitu Zaman Yunani Kuno,
Zaman Abad Pertengahan, Zaman Abad Modern, dan Zaman Abad Post Modern.
1.
Zaman Yunani Kuno
Pada Zaman Yunani Kuno, ilmu ini dipandang sebagai
bagian dari filsafat. Ilmu dipandang sebagai hal yang berurusan dengan
kenyataan (fakta) fisik, sekarang ilmu dianggap bergumul dengan
fenomena-fenomena (gejala-gejala fisik dan non fisik). Karenanya, ilmu kemudian
dikategorikan ke dalam tipe-tipe deduktif dan induktif.
Pada zaman Yunani Kuno, filsafat dan ilmu bersifat
saling menjalin dan orang tidak memisahkan keduanya sebagai hal yang berbeda.
Filsafat dan ilmu berusaha meneliti dan mencari unsur-unsur dasariah alam
semesta. Usaha tersebut, sekarang disebut usaha keilmuan (usaha ilmiah)
Ahli pikir pada zaman Yunani Kuno yang pertama kali
muncul adalah Thales (625-545
SM) (Susanto: 2011;33) yang berhasil mengembangkan beberapa filsafat ilmu.
Karena merupakan pemikir pertama yang dalam sejarah filsafat, ia disebut the
Father of Philosopy ( Bapak Filsafat ). Selain itu bangsa Yunani menggolongkan
Thales sebagai salah seorang dari Seven Wise Men of Greece (Tujuh Orang Arif
Yunani). Thales memperkembangkan filsafat alam (kosmologi) yang mempertanyakan
asal mula, sifat dasar, dan struktur komposisi alam semesta. Thales, dalam
penyelidikan keilmuwannya, menyimpulkan bahwa penyebab utama dari alam itu
adalah ” air ” sebagai akhir dari kosmis.
Sebagai ilmuwan, Thales mengembangkan fisika
astronomi dan matematika dengan antara lain mengembangkan fisika, astronomi,
dan matematika dengan antara lain, mengemukakan beberapa pendapat keilmuannya
antara lain bahwa bulan bersinar karena memantulkan cahaya matahari, menghitung
terjadinya gerhana matahari, dan membuktikan dalil-dalil geometri. Prestasi
Thales dalam sejarah keilmuan, ditunjukkannya dalam hal pembuktian dalilnya
bahwa kedua sudut alas dari suatu segitiga sama kaki adalah sama besarnya.
Thales, melalui itu menunjukkan bahwa ia adalah ahli matematika dunia yang
pertama dari Yunani. Para ahli dewasa ini, menyebut Thales sebagai Father of
Deductive Reasoning ( Bapak Penalaran Deduktif )
Pythagoras (572-497 SM) adalah ilmuwan Yunani Kuno
dalam bidang matematika yang mengajarkan bahwa bilangan merupakan intisari dari
semua benda sert dasar pokok dari sifat-sifat benda. Dalil Pythagoras
berpendapat bahwa matematika merupakan salah satu sarana atau alat bagi
pemahaman filsafati.
Plato (428-348 SM) adalah filsuf besar Yunani dan
ilmuwan spekulatif, yang menegaskan bahwa filsafat atau ilmu merupakan pencarian
yang bersifat perekaan (spekulatif ) tentang seluruh kebenaran. Plato, dalam
hal ini, memandang ilmu sebagai hal yang berhubungan dengan opini atau ajaran.
Ia mengajarkan bahwa geometri merupakan ilmu rasional berdasarkan akal murni,
yang berusaha membuktikan pernyataan-pernyataan (proposisi) abstrak mengenai
ide – ide abstrak, misalnya segitiga sempurna, lingkaran sempurna dan
sebagainya.
Aristoteles (382–322 SM) lebih memahami ilmu sebagai
pengetahuan demonstrative. Ilmu dalam hal ini bersifat teoritis ( ilmu
tertinggi ), praktis ( ilmu terapan ) dan produktif ( ilmu yang bermanfaat ),
semuanya dalam kesatuan utuh ( tidak bersifat ilmu majemuk ). Aristoteles
mempelajari berbagai ilmu, antara lain : Biologi, psikologi dan politik. Ia
juga mengembangkan ilmu tentang penalaran ( logika ) yang dalam hal ini
disebutkannya dengan nama Analytika, yaitu ilmu penalaran yang berpangkal pada
premis yang benar dan dialektika, yaitu ilmu penalaran yang berpangkal pikir
pada hal – hal yang bersifat tidak pasti ( hipotesis ).
2.
Zaman Abad Pertengahan
Permulaan abad pertengahan diawali dengan lahirnya
filsafat Eropa. Sama halnya dengan filsafat Yunani yang dipengaruhi oleh
kepercayaan, maka filsafat atau pemikiran pada abad pertengahan juga
dipengaruhi oleh kepercayaan Kristen. Artinya pemikiran filsafat abad
pertengahan didominasi oleh agama. Pemecahan semua persoalan selalau didasarkan
pada dogma agama, sehingga corak pemikiran filsafatnya bersifat teosentris.
Pada abad ke 6 Masehi sudah mulai berubah, tidak
lagi terpaku pada dogma agama. Sejak masa inilah didirikannya sekolah-sekolah
yang member pelajaran gramatika, dialektika, geometri, aritmatika, astronomi
dan music. Keadaan yang demikian akan mendorong perkembangan pemikiran filsafat
pada abad ke 13 yang ditandai dengan berdirinya universitas-universitas. Pada
universitas inilah mereka mengabdikan dirinya untuk kemajuan ilmu dan agama
seperti halnya yang dilakukan oleh Thomas Aquinas ( 1225-1274 )
Selain itu di kalangan para ahli pikir Islam pada
abad pertengahan ini, muncul pemikir-pemikir Islam seperti Al-Kindi, Al-Farabi,
Ibn Sina, Al-Ghasali, Ibn Bajjah, Ibn Tufail dan Ibn Rusyd. Periode ini
berlangsung tahun 850-1200, di mana pada masa itulah kejayaan Islam berlangsung
dan ilmu pengetahuan berkembang pesat sampai runtuhnya kerjaan Islam di Granada
Spanyol 1492.
3.
Zaman Abad Modern
llmu mengalami perkembangan revolusioner pada abad
modern. Muncul tokoh-tokoh pembaharu seperti; Galileo-Galilei, Francis Bacon,
Roger Bacon, Rene Descartes, dan Ishak Newton yang memperkenalkan matematika
dan metode eksperimental untuk mempelajari alam.
Menurut Galileo-Galilei (ilmuwan besar dunia dari
ltali), ilmu berkembang dari filasafat alam, yang lebih dikenal sebagai ilmu
alam, melalui pengukuran kecepatan cahaya sampai penimbangan obor udara.
Sebagai ilmuwan matematika, ia mengajarkan sebuah ucapannya yang sangat
terkenal, yaitu, “Filsafat ditulis dalam sebuah buku besar, tetapi buku itu
tidak dapat dibaca dan dimengerti bila orang tidak lebih dahulu belajar
memahami bahasa dan membaca huruf-huruf yang dipakai untuk menyusunnya, yaitu matematika".
Rene Descartes, menunjukkan sebuah kecenderungan
lain di dalam paham keilmuannya. Kenyataan tersebut makin menunjukkan ciri
perkembangan keilmuan modern yang bersifat majemuk dan partikular
(terpisah-pisah). Descartes, ilmu tidak memiliki basis lain kecuali akal budi.
Metode akal budi dapat diterapkan dalam problem apa pun.
Perkembangan ilmu mencapai puncak kejayaannya di
tangan lshak Newton. Menurut Newton, inti keilmuan adalah pada pencarian pola
data matematis, dan karena itu, ia berusaha membongkar rahasia alam dengan
menggunakan matematika. Pandangan keilmuan abad modern yang berciri
empiris-eksperimental dengan pendekatan induktifnya yang ketat, telah
dikembangkan secara lebih progresif oleh Ishak Newton dalam sebuah perspektif
keilmuan yang berciri positivistik.
Auguste Comte mengembangkan metode keilmuannya yang
khas yaitu "Positivisme" dengan memadukan “Rasionalisme" ala
Descartes dengan “Empirisme" Francis Bacon. Selanjutnya Comte
mengkategorikan ilmu dalam enam kategori kegunaan yang sifatnya praktis, (Adhyel:2013)
yaitu :
a. Ilmu
pasti (matematika) sebagai dasar bagi ilmu pengetahuan. Comte dengan begitu
yakin menyatakan bahwa hanya ilmu pastilah yang merupakan satu-satunya ilmu
yang mempunyai kedudukan obyektif.
b. Ilmu
perbintangan (astronomi) yang berfungsi menyusun hukum-hukum ilmu pasti
tersebut di atas dalam hubungan dengan gejala benda-benda langit.
c. Ilmu
alam (fisika) yang menunjukkan hubungan-hubungan yang mengatur sifat umum benda
yang dikaitkan dengan masa. Praktis ilmu alam atau fisika ini mempunyai sifat
keteramalan realitas obyeknya bersifat tetap dan tidak berubah.
d. Ilmu
kimia ( chemistry ) yang berfungsi untuk membuktikan adanya keterkaitan yang
luas diantara ilmu-ilmu seperti dalam ilmu hayat (biologi) dan bahkan dengan
sosiologi.
e. Ilmu
hayat ( fisiologi atau biologi). Jelasnya pada tingkat ini ilmu telah
berhadapan secara langsung dengan
gejala-gejala kehidupan sebagai unsur yang lebih kompleks.
f. Ilmu
fisika social ( sosiologi ). Ilmu ini berfungsi untuk menghadapkan ilmu pada
hakikat kehidupan yang lebih kompleks, lebih konkret, dan lebih khusus dalam
ikatan dengan suatu kelompok manusia.
Kultur keilmuan positif yang dikembangkan Auguste
Comte mempunyai peranan yang sangat besar dalam perkembangan keilmuan modern.
Nampaknya seolah-olah terdapat semacam jaminan bahwa “ hanya ilmu positif
(sain)lah yang pasti dan benar satu-satunya”. Positivisme awal yang menekakan
pada segi-segi rasional-ilmiah, baik pada tataran epistemologi maupun ontologi.
Pandangan positivisme Comte yang begitu kuat terhadap
masalah-masalah social, membentuk pandangan epistemology yang bercorak
pragmatis. Akibatya, epistemology positivism ini hampir tidak mampu lagi
menjangkau segi-segi historisitas manusia. Comte lupa bahwa segi-segi sosio
historis manusia inilah yang mengantarkannya untuk melahirkan pandangan,
gagasan serta cara berfikir dan aspirasi-aspirasi baru yang dinamis. Semua itu
bersifat terbuka bagi kemungkinan- kemungkinan baru di dalam pengetahuan dan
kehidupan yang terus bergerak maju dengan berbagai kemungkinan yang serba baru
dan berubah –ubah.
Krisis sosio-historis atau krisis dialektika dalam
epistemology yang memuncak pada zaman “Positivisme” ini justru muncul Von
Feuerbach. Feuerbach (19804-1872) sangat anti terhadap Teologi. Analisanya
secara langsung menyentuh pada hakikat Tuhan. Ia menegaskan bahwa sesungguhnya
segala konsepsi mengenai Tuhan tidak lain adalah produk imajinasi manusia
sendiri. Ia menganjurkan agar kepercayaan kepada Tuhan ditinggalkan saja. Akhirnya
Von Feuerbach menandai gejala perubahan mendasar dari alam lama ke alam modern
sekuler tidak hanya terbatas pada sektor agama, akan tetapi sampai kepada Tuhan
itu sendiri. Kenyataan ini semakin terlihat jelas dengan adanya kemanunggalan
antara Sekulerisme dan Ateisme.
Positivisme Kontemporer ternyata lebih tragis dalam
mengembangkan dirinya. Pada paham positivisme ini bukan saja menampilkan
dirinya sebagai sebuah ajaran, tetapi lebih pada sebuah sikap ilmiah dan sikap
hidup. Aliran Positivisme Kontemporer ini menempatkan dirinya pada puncak
pengetahuan dari kepentingan manusiawi dan awal pencapaian cita-cita untuk
memperoleh pengetahuan demi pengetahuan. Sejarah filsafat mencatat bahwa,
“Positivisme kontemporer” ini lebih ditonjolkan dalam pemikiran dikenal dengan
“Positivisme Logis” atau “Empirisme Logis”, atau juga “Neo Positivisme”.
“Positivisme Logis” menganggap ilmu atau pengetahuan
mengenai fakta obyektif sebagai ilmu atau pengetahuan yang sah. Melalui ini,
aliran “Positivisme” ini berusaha mengakhiri riwayat ontology atau metafisika.
Meskipun demikian, ternyata “Positivisme” tidak sanggup melepaskan diri secara
sungguh dari ontologi malah telah membentuk suatu ontologi baru yaitu teori murni
yang bebas dari kepentingan manusiawi.
Pengaruh Positivisme dalam keilmuan modern secara
luas dan mendasar membentuk berbagai aliran pemikiran dan keilmuan yang sangat
berpengaruh dalam kehidupan kultur modern. “Positivisme” telah membawa pengaruh
teknologi yang terasa penting dalam epistemologi. Teknologi ternyata sangat
mewarnai problem keilmuan moderndan secara khusus perkembangan sistem
pengetahuan modern. Umumnya, perkembangan ilmu dan teknologi berjalan secara
terpisah, namun setelah perkembangan Positivisme maka terjadi pembauran di
antara keduanya. Tuntutan pembauran ini didasarkan pada kebutuhan akan
peningkatan alat ukur untuk mencapai kepastian yang makin sempurna dalam rangka
pengetahuan ilmiah.
Secara implisit, perkembangan teknologi selalu
mempunyai pendasaran epistemologis yang sifatnya implisit di dalamnya.
Selanjutnya, setelah perkembangan modern maka pertumbuhan teknologi makin
mengungkapkan aspek epitemologis secara lebih eksplisit. Melalui ini, orang
dapat berbicara mengenai teknologi sebagai bagian dari pertumbuhan
epistemology. perkembangan di kemudian hari menunjukkan bahwa teknologi makin
terkait dengan proses industriliasasi tetapi juga makin terpadu dengan
perkembangan ilmu. Eksperimen tidak saja di bidang ilmu-ilmu alam, tetapi juga
di bidang biologi dan bahkan psikologi. Akibatnya, terjadilah perpaduan antara
perkembangan ilmu dengan teknologi. Profesi keilmuan, akhirnya, banyak terkait
dengan perkembangan teknologi.
Martin Heidegger mengkritik problem teknologi dalam
pengetahuan dengan menunjukkan bahwa teknik dapat menempatkan metafisika dan sekaligus
menunjukkan sebuah ontologinya yang khas, yaitu benda atau obyek. Jelasnya,
bila dalam Abad Pertengahan manusia dipandang dan diakui derajatnya sebagai
“makhluk” maka sebaliknya dalam teknologi, manusia dipandang sebagai benda atau
materi yang siap ditangani, dikuasai, dimiliki, dan dimanipulasi.
Martin Buber (Adhyel:2013) menunjukkan bahwa dalam
situasi demikian, hubungan antar manusia bersifat hubungan “Aku-Engkau” dirubah
menjadi “Aku-Itu” yang ditandai dengan nafsu eksploitasi, manipulasi, dan
rekayasa atas diri sesama manusia. Prinsipnya, dalam teknologi, manusia
terseret ke dalam dunia mekanisme yang kaku dan ketat. Akibatnya, manusia
terasa tidak mampu lagi untuk memandang hal-hal lain yang merupakan
misteri-misteri kehidupan yang bersifat hakiki. Harus diakui, manusia tetap
membutuhkan teknologi sebagai sarana (bukan tujuan) pengembangan hidup, namun,
tenologi itu sendiri harus terbuka pada pembaharuan dan pemurnian secara
terus-menerusatas prinsip kemanusiaan. Melalui itu, teknologi dapat berperan
dalam tugas kemanusiaan yang sifatnya utuh.
Salah satu ciri perkembangan keilmuan modern (
Adhyel:2013 ) pada abad XX yaitu lahirnya ilmu-ilmu baru yang tampaknya bebas,
seperti; logika formal, Liguistik (ilmu bahasa), teori tanda, ilmu perilaku
(Behaviour science), ilmu anatomi sosial (Sosial Anatomy Science), Antropologi
ragawi, dan Ethology (ilmu tentang pola perilaku organisme). Ciri empiris dalam
dunia keilmuan modern cenderung menganggap, bahwa ilmu-ilmu social dan
psikologi, untuk diakui keabsahannya secara ilmiah maka harus pula menggunakan metode-metode empiris eksperiental, yang isinya
terbatas pada data-data yang dapat dibuktikan dengan fakta pengamatan serta
generalisasi dan aplikasi.
4.
Zaman Abad Post Modern
(Pembaharuan Atas Klaim-Klaim Keilmuan Modern)
Jurgen Habermas, sebagai filsuf dan
pemikir abad Post modern. Habermas ingin membaharui pandangan keilmuan modern
dalam sebuah pendekatan kritis. Menurutnya, keilmuan modern telah terjebak dan
kebekuan dan kemandekan klaim-klaim “Positivisme” sempit, yang cenderung
membatasi ilmu pada gejala alam, tanpa berusaha melihat dimensi sosiologi
keilmuan itu sendiri.
Menurut Habermas, sejarah besar
ilmu sosial menunjukkan adanya tiga momen pemikiran yang sekaligus
menggambarkan tiga periode kritis di dalam sejarah ilmu sosial itu sendiri.
Ketiga momen kritis dalam sejarah ilmu sosial (Adhyel:2013) itu digambarkan
dalam skema pemikiran berikut :
a.
Ilmu Sosial Positif. Momen
pemikiran pertama inilah yang meletakkan dasar-dasar “Ideologi Positivisme”
baik pada tataran substansi maupun cara kerja atau metodenya pada alam
pengetahuan ilmu-ilmu sosial. Ilmu Sosial Positif menyeret manusia atau
masyarakat positif untuk jatuh ke dalam bahaya “Materialisme” dan “Hedonisme”,
tanpa bersikap kritis terhadapnya. Manusia harus memutuskan hubungannya dengan
masa lalunya, dinamika kejiwaannya, dan tuntutan-tuntutan sosialnya yang luas
dan komplementer. Ambisi ilmu sosial positivis telah mengubah aspirasi dan
otonomi, serta cinta kemanusiaan menjadi susah anarkhisme dan perbudakan atau
kediktatoran yang menindas. Hukum evolusi yang kemudian diperkuat dengan
semboyan struggle for life dan survival of the fittest telah memaksakan orang
untuk berjuang habis-habisan demi hidup dan demi kekuasaan, tanpa cinta kasih
atau pengampunan.
b.
Ilmu Hermeneutika
Sosial, dilakukandengan menunjukkan sebuah pendekatan baru yang bersifat kritis
atas pemikiran “Positivisme” sosial dan kehidupan sosial itu sendiri. Caranya
adalah, dengan metode hermeneutik atau penafsiran atas ide dan
tindakan-tindakan sosial. Tindakan-tindakan sosial atau ide tindakan sosial
itulah yang menjadi dasar untuk mengkonstruksikan teori sosialnya. Cara itu
dilakukan dengan mempelajari perilaku sosial yang bermakna untuk menunjukkan
segi-segi subyektif kegiatan antar pribadi dalam kompleksitas hubungan sosial
yang menyusun sebuah masyarakat.
c.
Sosial Kritis. Arus
pemikiran ini lebih merupakan sebuah kritik pembaharuan atas isi pemikiran dan
suasana intelektual teori sosial sebelumnya yang dipandangnya sebagai anti
demokratik dan humanis. Alasannya, teori-teori tersebut telah memanipulasi
masyarakat dengan penelitiannya yang sengaja mengambil dan memanipulasi suara
terbanyak untuk membenarkan maksud-maksud politiknya dalam rangka
mendiskriminasikan kelompok masyarakat minoritas.
Jelasnya Habermas telah meletakkan
sebuah dasar baru bagi dunia keilmuan yang disebut sebagai sosiologi kritis.
Habermas menunjukkan adanya sintesis dialektis dalam ilmu yang tidak hanya
diperoleh melalui tindakan instrumental karena di dalam kerjanya, manusia
membawa serta tradisi dan penafsiran-penafsiran simbolis atas dunianya.
C.
Kesimpulan
Sejarah perkembangan filsafat dapat
dikategorikan ke dalam 4 zaman yaitu Zaman Yunani Kuno, Zaman Abad Pertengahan,
Zaman Abad Modern, dan Zaman Abad Post Modern.
- Perkembangan sejarah ilmu pada abad Yunani Kuno telah berkembang dalam empat bidang keilmuan, yaitu; Filsafat (kosmologi), ilmu biologi, matematika, dan logika dengan ciri perkembangannya masing-masing.
- Perkebangan sejarah ilmu pada abad pertengahan mengedepankan masalah kepercayaan dan ketuhanan. Artinya pemikiran filsafat abad pertengahan didominasi oleh agama. Pemecahan semua persoalan selalau didasarkan pada dogma agama, sehingga corak pemikiran filsafatnya bersifat teosentris.
- Pada zaman abad modern mendasarkan pada Positivisme yang digagas oleh Auguste Comte dimana pengaruh Positivisme dalam keilmuan modern membentuk berbagai aliran pemikiran dan keilmuan yang sangat berpengaruh dalam kehidupan kultur modern.
- Sedangkan pada perkembangan filsafat ilmu di zaman abad post modern meletakkan sebuah dasar baru bagi dunia keilmuan yang disebut sebagai sosiologi kritis.
D.
Daftar Pustaka :
Susanto, A. 2011. Filsafat Ilmu. Suatu Kajian dalam Dimensi
Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta. Bumi Aksara
Adhyel.
2013. http://www.wattpad.com/19095473-zaman-yunani-kuno-abad-pertengahan-abad-modern-dan diakses 29 Januari 2014 : 10.43.