SALAM PENDIDIKAN

Terima kasih saya ucapkan pada rekan-rekan saya yang telah mngunjungi, mengakses, dan menggunakan Blog saya. Blog ini saya buat dalam rangka menuangkan ide-ide atau pikiran saya, sehingga tidak menumpuk di otak dan sedikit banyak telah menuntun saya untuk mau menulis di dalam Blog.

Minggu, 02 Februari 2014

PERJALANAN FILSAFAT ILMU



PERJALANAN FILSAFAT  ILMU
Oleh : Parjo
PPs Pendidikan Matematika P2TK 2013/ 13709259001 

A.       Pendahuluan
Sejarah filsafat (Susanto:2011;30) adalah uraian dari suatu peristiwa yang berkaitan dengan hasil pemikiran filsafat. Sejarah lahirnya dan perkembangan filsafat sama tuanya dengan sejarah kelahiran dan perkembangan ilmu pengetahuan yang muncul pada masa peradaban kuno. Asal muasal lahirnya filsafat adalah dalam upaya mencari kebenaran, menyelidiki hakikat yang sebenarnya mengenai segala sesuatu secara sungguh-sungguh. 
Adapun tujuan mempelajari filsafat ini (Susanto:2011;31) untuk mengetahui pemikiran filsafat para ahli pikir atau filosof tentang berbagai ragam pemikiran dari dahulu hingga sekarang. Di dalam sejarah filsafat akan diketahui pemikiran-pemikiran yang cemerlang hingga hasil pemkiran tersebut dapat mengubah dunia melalui gagasan dan ide-ide yang monumental. Adapun upaya yang dilakukan adalah untuk mencapai kebenaran dalam segala bidang yaitu meliputi pikiran atau budi manusia, tingkah laku, nilai tingkah laku dan tujuan hidup baik kehidupan dunia maupun kehidupan sesudah dunia ini.
B.        Zaman Perkembangan Filsafat
 Sejarah perkembangan filsafat dapat dibagi ke dalam 4 zaman yaitu Zaman Yunani Kuno, Zaman Abad Pertengahan, Zaman Abad Modern, dan Zaman Abad Post Modern. 
1.      Zaman Yunani Kuno
Pada Zaman Yunani Kuno, ilmu ini dipandang sebagai bagian dari filsafat. Ilmu dipandang sebagai hal yang berurusan dengan kenyataan (fakta) fisik, sekarang ilmu dianggap bergumul dengan fenomena-fenomena (gejala-gejala fisik dan non fisik). Karenanya, ilmu kemudian dikategorikan ke dalam tipe-tipe deduktif dan induktif. 
Pada zaman Yunani Kuno, filsafat dan ilmu bersifat saling menjalin dan orang tidak memisahkan keduanya sebagai hal yang berbeda. Filsafat dan ilmu berusaha meneliti dan mencari unsur-unsur dasariah alam semesta. Usaha tersebut, sekarang disebut usaha keilmuan (usaha ilmiah) 
Ahli pikir pada zaman Yunani Kuno yang pertama kali muncul adalah          Thales (625-545 SM) (Susanto: 2011;33) yang berhasil mengembangkan beberapa filsafat ilmu. Karena merupakan pemikir pertama yang dalam sejarah filsafat, ia disebut the Father of Philosopy ( Bapak Filsafat ). Selain itu bangsa Yunani menggolongkan Thales sebagai salah seorang dari Seven Wise Men of Greece (Tujuh Orang Arif Yunani). Thales memperkembangkan filsafat alam (kosmologi) yang mempertanyakan asal mula, sifat dasar, dan struktur komposisi alam semesta. Thales, dalam penyelidikan keilmuwannya, menyimpulkan bahwa penyebab utama dari alam itu adalah ” air ” sebagai akhir dari kosmis.
Sebagai ilmuwan, Thales mengembangkan fisika astronomi dan matematika dengan antara lain mengembangkan fisika, astronomi, dan matematika dengan antara lain, mengemukakan beberapa pendapat keilmuannya antara lain bahwa bulan bersinar karena memantulkan cahaya matahari, menghitung terjadinya gerhana matahari, dan membuktikan dalil-dalil geometri. Prestasi Thales dalam sejarah keilmuan, ditunjukkannya dalam hal pembuktian dalilnya bahwa kedua sudut alas dari suatu segitiga sama kaki adalah sama besarnya. Thales, melalui itu menunjukkan bahwa ia adalah ahli matematika dunia yang pertama dari Yunani. Para ahli dewasa ini, menyebut Thales sebagai Father of Deductive Reasoning ( Bapak Penalaran Deduktif )
Pythagoras (572-497 SM) adalah ilmuwan Yunani Kuno dalam bidang matematika yang mengajarkan bahwa bilangan merupakan intisari dari semua benda sert dasar pokok dari sifat-sifat benda. Dalil Pythagoras berpendapat bahwa matematika merupakan salah satu sarana atau alat bagi pemahaman filsafati.
Plato (428-348 SM) adalah filsuf besar Yunani dan ilmuwan spekulatif, yang menegaskan bahwa filsafat atau ilmu merupakan pencarian yang bersifat perekaan (spekulatif ) tentang seluruh kebenaran. Plato, dalam hal ini, memandang ilmu sebagai hal yang berhubungan dengan opini atau ajaran. Ia mengajarkan bahwa geometri merupakan ilmu rasional berdasarkan akal murni, yang berusaha membuktikan pernyataan-pernyataan (proposisi) abstrak mengenai ide – ide abstrak, misalnya segitiga sempurna, lingkaran sempurna dan sebagainya.
Aristoteles (382–322 SM) lebih memahami ilmu sebagai pengetahuan demonstrative. Ilmu dalam hal ini bersifat teoritis ( ilmu tertinggi ), praktis ( ilmu terapan ) dan produktif ( ilmu yang bermanfaat ), semuanya dalam kesatuan utuh ( tidak bersifat ilmu majemuk ). Aristoteles mempelajari berbagai ilmu, antara lain : Biologi, psikologi dan politik. Ia juga mengembangkan ilmu tentang penalaran ( logika ) yang dalam hal ini disebutkannya dengan nama Analytika, yaitu ilmu penalaran yang berpangkal pada premis yang benar dan dialektika, yaitu ilmu penalaran yang berpangkal pikir pada hal – hal yang bersifat tidak pasti ( hipotesis ).

 2.      Zaman Abad Pertengahan
Permulaan abad pertengahan diawali dengan lahirnya filsafat Eropa. Sama halnya dengan filsafat Yunani yang dipengaruhi oleh kepercayaan, maka filsafat atau pemikiran pada abad pertengahan juga dipengaruhi oleh kepercayaan Kristen. Artinya pemikiran filsafat abad pertengahan didominasi oleh agama. Pemecahan semua persoalan selalau didasarkan pada dogma agama, sehingga corak pemikiran filsafatnya bersifat teosentris.
Pada abad ke 6 Masehi sudah mulai berubah, tidak lagi terpaku pada dogma agama. Sejak masa inilah didirikannya sekolah-sekolah yang member pelajaran gramatika, dialektika, geometri, aritmatika, astronomi dan music. Keadaan yang demikian akan mendorong perkembangan pemikiran filsafat pada abad ke 13 yang ditandai dengan berdirinya universitas-universitas. Pada universitas inilah mereka mengabdikan dirinya untuk kemajuan ilmu dan agama seperti halnya yang dilakukan oleh Thomas Aquinas        ( 1225-1274 )
Selain itu di kalangan para ahli pikir Islam pada abad pertengahan ini, muncul pemikir-pemikir Islam seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Ghasali, Ibn Bajjah, Ibn Tufail dan Ibn Rusyd. Periode ini berlangsung tahun 850-1200, di mana pada masa itulah kejayaan Islam berlangsung dan ilmu pengetahuan berkembang pesat sampai runtuhnya kerjaan Islam di Granada Spanyol 1492.

3.      Zaman Abad Modern
llmu mengalami perkembangan revolusioner pada abad modern. Muncul tokoh-tokoh pembaharu seperti; Galileo-Galilei, Francis Bacon, Roger Bacon, Rene Descartes, dan Ishak Newton yang memperkenalkan matematika dan metode eksperimental untuk mempelajari alam.
Menurut Galileo-Galilei (ilmuwan besar dunia dari ltali), ilmu berkembang dari filasafat alam, yang lebih dikenal sebagai ilmu alam, melalui pengukuran kecepatan cahaya sampai penimbangan obor udara. Sebagai ilmuwan matematika, ia mengajarkan sebuah ucapannya yang sangat terkenal, yaitu, “Filsafat ditulis dalam sebuah buku besar, tetapi buku itu tidak dapat dibaca dan dimengerti bila orang tidak lebih dahulu belajar memahami bahasa dan membaca huruf-huruf yang dipakai untuk menyusunnya,          yaitu matematika".
Rene Descartes, menunjukkan sebuah kecenderungan lain di dalam paham keilmuannya. Kenyataan tersebut makin menunjukkan ciri perkembangan keilmuan modern yang bersifat majemuk dan partikular (terpisah-pisah). Descartes, ilmu tidak memiliki basis lain kecuali akal budi. Metode akal budi dapat diterapkan dalam problem apa pun.
Perkembangan ilmu mencapai puncak kejayaannya di tangan lshak Newton. Menurut Newton, inti keilmuan adalah pada pencarian pola data matematis, dan karena itu, ia berusaha membongkar rahasia alam dengan menggunakan matematika. Pandangan keilmuan abad modern yang berciri empiris-eksperimental dengan pendekatan induktifnya yang ketat, telah dikembangkan secara lebih progresif oleh Ishak Newton dalam sebuah perspektif keilmuan yang berciri positivistik.
Auguste Comte mengembangkan metode keilmuannya yang khas yaitu "Positivisme" dengan memadukan “Rasionalisme" ala Descartes dengan “Empirisme" Francis Bacon. Selanjutnya Comte mengkategorikan ilmu dalam enam kategori kegunaan yang sifatnya praktis, (Adhyel:2013) yaitu :
a.    Ilmu pasti (matematika) sebagai dasar bagi ilmu pengetahuan. Comte dengan begitu yakin menyatakan bahwa hanya ilmu pastilah yang merupakan satu-satunya ilmu yang mempunyai kedudukan obyektif.
b.   Ilmu perbintangan (astronomi) yang berfungsi menyusun hukum-hukum ilmu pasti tersebut di atas dalam hubungan dengan gejala benda-benda langit.
c.    Ilmu alam (fisika) yang menunjukkan hubungan-hubungan yang mengatur sifat umum benda yang dikaitkan dengan masa. Praktis ilmu alam atau fisika ini mempunyai sifat keteramalan realitas obyeknya bersifat tetap dan tidak berubah.
d.   Ilmu kimia ( chemistry ) yang berfungsi untuk membuktikan adanya keterkaitan yang luas diantara ilmu-ilmu seperti dalam ilmu hayat (biologi) dan bahkan dengan sosiologi.
e.    Ilmu hayat ( fisiologi atau biologi). Jelasnya pada tingkat ini ilmu telah berhadapan secara  langsung dengan gejala-gejala kehidupan sebagai unsur yang lebih kompleks.
f.    Ilmu fisika social ( sosiologi ). Ilmu ini berfungsi untuk menghadapkan ilmu pada hakikat kehidupan yang lebih kompleks, lebih konkret, dan lebih khusus dalam ikatan dengan suatu kelompok manusia.
Kultur keilmuan positif yang dikembangkan Auguste Comte mempunyai peranan yang sangat besar dalam perkembangan keilmuan modern. Nampaknya seolah-olah terdapat semacam jaminan bahwa “ hanya ilmu positif (sain)lah yang pasti dan benar satu-satunya”. Positivisme awal yang menekakan pada segi-segi rasional-ilmiah, baik pada tataran epistemologi maupun ontologi.
Pandangan positivisme Comte yang begitu kuat terhadap masalah-masalah social, membentuk pandangan epistemology yang bercorak pragmatis. Akibatya, epistemology positivism ini hampir tidak mampu lagi menjangkau segi-segi historisitas manusia. Comte lupa bahwa segi-segi sosio historis manusia inilah yang mengantarkannya untuk melahirkan pandangan, gagasan serta cara berfikir dan aspirasi-aspirasi baru yang dinamis. Semua itu bersifat terbuka bagi kemungkinan- kemungkinan baru di dalam pengetahuan dan kehidupan yang terus bergerak maju dengan berbagai kemungkinan yang serba baru dan berubah –ubah.
Krisis sosio-historis atau krisis dialektika dalam epistemology yang memuncak pada zaman “Positivisme” ini justru muncul Von Feuerbach. Feuerbach (19804-1872) sangat anti terhadap Teologi. Analisanya secara langsung menyentuh pada hakikat Tuhan. Ia menegaskan bahwa sesungguhnya segala konsepsi mengenai Tuhan tidak lain adalah produk imajinasi manusia sendiri. Ia menganjurkan agar kepercayaan kepada Tuhan ditinggalkan saja. Akhirnya Von Feuerbach menandai gejala perubahan mendasar dari alam lama ke alam modern sekuler tidak hanya terbatas pada sektor agama, akan tetapi sampai kepada Tuhan itu sendiri. Kenyataan ini semakin terlihat jelas dengan adanya kemanunggalan antara Sekulerisme dan Ateisme. 
Positivisme Kontemporer ternyata lebih tragis dalam mengembangkan dirinya. Pada paham positivisme ini bukan saja menampilkan dirinya sebagai sebuah ajaran, tetapi lebih pada sebuah sikap ilmiah dan sikap hidup. Aliran Positivisme Kontemporer ini menempatkan dirinya pada puncak pengetahuan dari kepentingan manusiawi dan awal pencapaian cita-cita untuk memperoleh pengetahuan demi pengetahuan. Sejarah filsafat mencatat bahwa, “Positivisme kontemporer” ini lebih ditonjolkan dalam pemikiran dikenal dengan “Positivisme Logis” atau “Empirisme Logis”, atau juga “Neo Positivisme”.
“Positivisme Logis” menganggap ilmu atau pengetahuan mengenai fakta obyektif sebagai ilmu atau pengetahuan yang sah. Melalui ini, aliran “Positivisme” ini berusaha mengakhiri riwayat ontology atau metafisika. Meskipun demikian, ternyata “Positivisme” tidak sanggup melepaskan diri secara sungguh dari ontologi malah telah membentuk suatu ontologi baru yaitu teori murni yang bebas dari kepentingan manusiawi.
Pengaruh Positivisme dalam keilmuan modern secara luas dan mendasar membentuk berbagai aliran pemikiran dan keilmuan yang sangat berpengaruh dalam kehidupan kultur modern. “Positivisme” telah membawa pengaruh teknologi yang terasa penting dalam epistemologi. Teknologi ternyata sangat mewarnai problem keilmuan moderndan secara khusus perkembangan sistem pengetahuan modern. Umumnya, perkembangan ilmu dan teknologi berjalan secara terpisah, namun setelah perkembangan Positivisme maka terjadi pembauran di antara keduanya. Tuntutan pembauran ini didasarkan pada kebutuhan akan peningkatan alat ukur untuk mencapai kepastian yang makin sempurna dalam rangka pengetahuan ilmiah.
Secara implisit, perkembangan teknologi selalu mempunyai pendasaran epistemologis yang sifatnya implisit di dalamnya. Selanjutnya, setelah perkembangan modern maka pertumbuhan teknologi makin mengungkapkan aspek epitemologis secara lebih eksplisit. Melalui ini, orang dapat berbicara mengenai teknologi sebagai bagian dari pertumbuhan epistemology. perkembangan di kemudian hari menunjukkan bahwa teknologi makin terkait dengan proses industriliasasi tetapi juga makin terpadu dengan perkembangan ilmu. Eksperimen tidak saja di bidang ilmu-ilmu alam, tetapi juga di bidang biologi dan bahkan psikologi. Akibatnya, terjadilah perpaduan antara perkembangan ilmu dengan teknologi. Profesi keilmuan, akhirnya, banyak terkait dengan perkembangan teknologi.
Martin Heidegger mengkritik problem teknologi dalam pengetahuan dengan menunjukkan bahwa teknik dapat menempatkan metafisika dan sekaligus menunjukkan sebuah ontologinya yang khas, yaitu benda atau obyek. Jelasnya, bila dalam Abad Pertengahan manusia dipandang dan diakui derajatnya sebagai “makhluk” maka sebaliknya dalam teknologi, manusia dipandang sebagai benda atau materi yang siap ditangani, dikuasai, dimiliki, dan dimanipulasi.
Martin Buber (Adhyel:2013) menunjukkan bahwa dalam situasi demikian, hubungan antar manusia bersifat hubungan “Aku-Engkau” dirubah menjadi “Aku-Itu” yang ditandai dengan nafsu eksploitasi, manipulasi, dan rekayasa atas diri sesama manusia. Prinsipnya, dalam teknologi, manusia terseret ke dalam dunia mekanisme yang kaku dan ketat. Akibatnya, manusia terasa tidak mampu lagi untuk memandang hal-hal lain yang merupakan misteri-misteri kehidupan yang bersifat hakiki. Harus diakui, manusia tetap membutuhkan teknologi sebagai sarana (bukan tujuan) pengembangan hidup, namun, tenologi itu sendiri harus terbuka pada pembaharuan dan pemurnian secara terus-menerusatas prinsip kemanusiaan. Melalui itu, teknologi dapat berperan dalam tugas kemanusiaan yang sifatnya utuh.
Salah satu ciri perkembangan keilmuan modern ( Adhyel:2013 ) pada abad XX yaitu lahirnya ilmu-ilmu baru yang tampaknya bebas, seperti; logika formal, Liguistik (ilmu bahasa), teori tanda, ilmu perilaku (Behaviour science), ilmu anatomi sosial (Sosial Anatomy Science), Antropologi ragawi, dan Ethology (ilmu tentang pola perilaku organisme). Ciri empiris dalam dunia keilmuan modern cenderung menganggap, bahwa ilmu-ilmu social dan psikologi, untuk diakui keabsahannya secara ilmiah maka harus pula menggunakan metode-metode empiris eksperiental, yang isinya terbatas pada data-data yang dapat dibuktikan dengan fakta pengamatan serta generalisasi dan aplikasi.

4.      Zaman Abad Post Modern (Pembaharuan Atas Klaim-Klaim Keilmuan Modern)
Jurgen Habermas, sebagai filsuf dan pemikir abad Post modern. Habermas ingin membaharui pandangan keilmuan modern dalam sebuah pendekatan kritis. Menurutnya, keilmuan modern telah terjebak dan kebekuan dan kemandekan klaim-klaim “Positivisme” sempit, yang cenderung membatasi ilmu pada gejala alam, tanpa berusaha melihat dimensi sosiologi keilmuan itu sendiri.
Menurut Habermas, sejarah besar ilmu sosial menunjukkan adanya tiga momen pemikiran yang sekaligus menggambarkan tiga periode kritis di dalam sejarah ilmu sosial itu sendiri. Ketiga momen kritis dalam sejarah ilmu sosial (Adhyel:2013) itu digambarkan dalam skema pemikiran berikut :
a.    Ilmu Sosial Positif. Momen pemikiran pertama inilah yang meletakkan dasar-dasar “Ideologi Positivisme” baik pada tataran substansi maupun cara kerja atau metodenya pada alam pengetahuan ilmu-ilmu sosial. Ilmu Sosial Positif menyeret manusia atau masyarakat positif untuk jatuh ke dalam bahaya “Materialisme” dan “Hedonisme”, tanpa bersikap kritis terhadapnya. Manusia harus memutuskan hubungannya dengan masa lalunya, dinamika kejiwaannya, dan tuntutan-tuntutan sosialnya yang luas dan komplementer. Ambisi ilmu sosial positivis telah mengubah aspirasi dan otonomi, serta cinta kemanusiaan menjadi susah anarkhisme dan perbudakan atau kediktatoran yang menindas. Hukum evolusi yang kemudian diperkuat dengan semboyan struggle for life dan survival of the fittest telah memaksakan orang untuk berjuang habis-habisan demi hidup dan demi kekuasaan, tanpa cinta kasih atau pengampunan.
b.   Ilmu Hermeneutika Sosial, dilakukandengan menunjukkan sebuah pendekatan baru yang bersifat kritis atas pemikiran “Positivisme” sosial dan kehidupan sosial itu sendiri. Caranya adalah, dengan metode hermeneutik atau penafsiran atas ide dan tindakan-tindakan sosial. Tindakan-tindakan sosial atau ide tindakan sosial itulah yang menjadi dasar untuk mengkonstruksikan teori sosialnya. Cara itu dilakukan dengan mempelajari perilaku sosial yang bermakna untuk menunjukkan segi-segi subyektif kegiatan antar pribadi dalam kompleksitas hubungan sosial yang menyusun sebuah masyarakat.
c.    Sosial Kritis. Arus pemikiran ini lebih merupakan sebuah kritik pembaharuan atas isi pemikiran dan suasana intelektual teori sosial sebelumnya yang dipandangnya sebagai anti demokratik dan humanis. Alasannya, teori-teori tersebut telah memanipulasi masyarakat dengan penelitiannya yang sengaja mengambil dan memanipulasi suara terbanyak untuk membenarkan maksud-maksud politiknya dalam rangka mendiskriminasikan kelompok masyarakat minoritas.
Jelasnya Habermas telah meletakkan sebuah dasar baru bagi dunia keilmuan yang disebut sebagai sosiologi kritis. Habermas menunjukkan adanya sintesis dialektis dalam ilmu yang tidak hanya diperoleh melalui tindakan instrumental karena di dalam kerjanya, manusia membawa serta tradisi dan penafsiran-penafsiran simbolis atas dunianya.

C.        Kesimpulan
Sejarah perkembangan filsafat dapat dikategorikan ke dalam 4 zaman yaitu Zaman Yunani Kuno, Zaman Abad Pertengahan, Zaman Abad Modern, dan Zaman Abad Post Modern. 

  1. Perkembangan sejarah ilmu pada abad Yunani Kuno telah berkembang dalam empat bidang keilmuan, yaitu; Filsafat (kosmologi), ilmu biologi, matematika, dan logika dengan ciri perkembangannya masing-masing.
  2. Perkebangan sejarah ilmu pada abad pertengahan mengedepankan masalah kepercayaan dan ketuhanan. Artinya pemikiran filsafat abad pertengahan didominasi oleh agama. Pemecahan semua persoalan selalau didasarkan pada dogma agama, sehingga corak pemikiran filsafatnya bersifat teosentris.
  3. Pada zaman abad modern mendasarkan pada Positivisme yang digagas oleh Auguste Comte dimana pengaruh Positivisme dalam keilmuan modern membentuk berbagai aliran pemikiran dan keilmuan yang sangat berpengaruh dalam kehidupan kultur modern.
  4. Sedangkan pada perkembangan filsafat ilmu di zaman abad post modern meletakkan sebuah dasar baru bagi dunia keilmuan yang disebut sebagai sosiologi kritis.


D.       Daftar Pustaka :
Susanto, A. 2011. Filsafat Ilmu. Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta. Bumi Aksara